previous arrow
next arrow
Shadow
Slider

Dr Edy Ikhsan, SH, MA

figure dr edy ikhsan sh ma cjl

Bagi para aktivis penggiat hak azasi manusia serta di lingkar akademisi, nama Edy Ikhsan tidaklah asing. Ia juga bukan orang baru bagi kalangan media. Seabrek aktivitas hukum dan sosial kerap mengikutsertakannya sebagai tokoh utama dalam berbagai aksi perlindungan kalangan marginal, anak dan perempuan. Untuk bidang akademis, penelitian yang dilakukannya seputar persoalan adat dan hak ulayat masyarakat Melayu Deli, telah mendudukkannya sebagai salah seorang tokoh bangsawan Melayu yang menjadi sumber informasi terpercaya oleh berbagai kalangan.

Dr Edy Ikhsan, dilahirkan di Medan 58 tahun silam, tepatnya pada 16 Februari 1963. Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Josua Medan (1969–1974), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Josua Medan (1975–1977) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri III Medan (1978–1981). Ia lulus dan diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Jurusan Keperdataan USU pada tahun 1981 dan menamatkannya tepat waktu di tahun 1986. Lelaki murah senyum yang hobby bergurau itu mendapatkan gelar magister antropologinya dari Program Pasca Sarjana bidang Antropologi Hukum di Rijksuniversitet te Leiden/ Landbouw Universiteit Wageningen di Nederland dan Universitas Indonesia di Jakarta (1991-1995) dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Sumatera Utara (2013).

Ketua Badan Pembina Yayasan Pusaka Indonesia ini adalah seorang dosen yang tidak pernah puas menimba ilmu. Ia pernah mendapatkan beasiswa bergengsi karena kegigihannya. Di antaranya beasiswa untuk program S2 di negeri Belanda dari Pemerintah Belanda (1990), penerima Grant Penelitian dari the Toyota Foundation (1994), Penerima International Visitor Program, USA (2005), penerima Grant Sandwich-Like Program di Universitas Leiden, Belanda dan penerima Grant Studi Gerakan Ornop di Cafe Town Afrika Selatan (2000). Beberapa penghargaan pun pernah diterimanya sebagai imbal dedikasi yang telah diberikannya dalam profesi. Tercatat di antaranya sebagai penerima Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2007), 20 Tahun (2011) dan 30 Tahun (2019) serta Dosen Terbaik Fakultas Hukum USU (2008 dan 2013).

“Pendidikan bukan satu-satunya hal terpenting dalam hidup. Namun dengan pendidikan, manusia akan mampu memanusiakan sesamanya, berpikir dan bertindak sesuai dengan fitrahnya ketika diciptakan; menjadi kebaikan bagi seluruh alam. Itulah point penting pendidikan itu. Jika pendidikan tidak mampu mengubah manusia menjadi sebaik-baik penciptaan, berarti ada yang salah dengan dirinya atau pendidikan yang dijalaninya. Namun yang paling penting untuk diingat, pendidikan yang dimaksudkan bukan hanya segala sesuatu yang bersifat formal, melainkan hal-hal lainnya yang kita pelajari di sekitar kita. Belajar itu proses yang terus berlangsung sepanjang hayat. Belajar apa saja, dari siapa saja, di mana saja dan kapan saja” ungkap lelaki yang selalu tampil bersahaja itu.

Sebagai seorang aktivis, kiprah Dr Edy Ikhsan di berbagai organisasi sudah dilakoninya sejak lama. Pengalamannya di Himpunan Mahasiswa Islam (1983-1986), Lembaga Advokasi Anak Indonesia (1992-1998), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (WALHI) (2005), Kontras Sumatera Utara (2003 s/d sekarang), Yayasan Pusaka Indonesia (2000 s/d sekarang) dan Perpustakaan Yayasan Tengku Luckman Sinar (2014 – sekarang) memberikan banyak warna dalam pemikiran-pemikiran yang dituangkannya dalam berbagai penelitian dan karya ilmiah, baik berupa jurnal, artikel media, buku dan lain-lain. Ia terbilang kritis dalam mengungkapkan berbagai koreksi terhadap kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak berpihak terhadap perlindungan kalangan marginal.

Dr Edy Ikhsan adalah pembaca yang lahap dan pembelajar yang tekun. “Saat ini membaca tidak lagi identik dengan buku. Sumber bacaan di era teknologi sangat beragam. Ada e-book dan berbagai search engine yang akan mengantarkan kita ke berbagai sumber bacaan. Filternya ada di diri kita, apakah ingin mencari informasi positif atau negatif. Fungsinya juga kembali pada diri sendiri, apakah akan membuat kita menjadi lebih baik atau malah lebih buruk,” tandasnya.

Ia juga kerap melakukan penelitian terhadap banyak persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Menyebut beberapa penelitian yang dilakukannya, di antaranya; Riset Kinerja Ombudsman RI (2014) sebagai Peneliti Utama dari Rijksuniversiteit Leiden, Riset Sejarah Hukum Tanah Orang Melayu (2015) sebagai Peneliti Utama dari National Archive Belanda, Riset Masyarakat Hukum Adat Langkat (2016) sebagai Peneliti Utama dari Pemerintahan Langkat dan Lembaga Penelitian USU, Konflik di Atas Tanah Eks HGU PTPN II (2017) sebagai Peneliti Utama dari Universitas Sumatera Utara, Perlindungan Pengungsi Anak Rohingya di Medan (2018) sebagai Peneliti Utama dari Universitas Sumatera Utara, Legalitas dan Hak Milik Sibayak Kabanjahe (Studi Sejarah) (2018) sebagai Peneliti Utama dari Negeri Belanda, Putusnya Pertunangan di Masyarakat Batak Mandailing (2019) sebagai Peneliti Utama dari Dikti dan Pasang Surut Kesultanan Kota Pinang (1881-1946) (2019) sebagai Peneliti Utama dari Negeri Belanda.

Dr Edy Ikhsan juga mempublikasikan berbagai karya ilmiahnya dalam bentuk buku, jurnal dan artikel di media massa. Beberapa di antaranya ; Tanah Ulayat Orang Melayu di Sumatera Utara: Diantara Pengakuan dan Pemasungan (2010) Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar (Makalah), Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara (2012) Kumpulan Tulisan Emeritus Prof. Rehngena Purba, SH, MS (Buku), Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum (2015) Yayasan Obor Indonesia (Buku), Communal Land Rights of Malay People in North Sumatra Utara: Power, State and Deulayatisasi (2014) Indonesian Law Review, University of Indonesia (Journal), Land Tenure of The Malay People in North Sumatra: From Normative Trap to Historical Denial (2016) Hasanuddin Law Review, University of Hasanuddin (Journal), The Nationalization of the Dutch Owned Plantations in North Sumatra: To Whom The Communal Land Belong? (2019) Indonesian Law Review, University of Indonesia (Journal).

Sebagai Wakil Rektor I USU, Dr Edy Ikhsan melihat bahwa pendidikan tinggi dengan penerapan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka saat ini telah membuka peluang besar bagi para mahasiswa untuk melengkapi kompetensinya dengan kolaborasi soft skill dan hard skill yang lebih baik.

“Kultur belajar di kampus dalam bingkai MBKM saat ini tidak lagi hanya menempatkan mahasiswa di ruang-ruang kelas secara pasif, namun memberikan ruang yang lebih luas untuk berinovasi dan berkreasi sesuai dengan passion mahasiswa. Kebebasan untuk mengambil hak belajar 3 semester di luar prodi asal, yakni 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi, memberikan iklim yang lebih mendukung terwujudnya generasi unggul dengan berbagai kecakapan/keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja. Semoga hal ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasiswa kita,” harapnya.

Selain sebagai Wakil Rektor I USU, Dr Edy Ikhsan juga masih menjalankan profesi sebagai Dosen Fakultas Hukum USU, Ketua Badan Pembina KontraS Sumatera Utara dan Kepala Perpustakaan Yayasan Tengku Luckman Sinar. (RJ)